Jumat, 11 April 2008

Symphony of Flame and Frost

Berbicara mengenai Gus Dur pasti tidak akan ada habisnya. Bicaranya yang ceplas-ceplos dan tajam, pemikirannya yang cerdas dan sulit ditebak, membuatnya menjadi tokoh nasional yang sangat menarik untuk diikuti. Kritikannya kepada banyak pihak membuat lawan dan kawan politik jadi keder dibuatnya. Gus Dur emang Ruaar biasa. Ibarat pesilat, Gus Dur adalah pendekar mumpuni, pilih tanding. Kemampuannya untuk membaca jurus-jurus yang akan dikeluarkan oleh lawan, membuatnya bisa mengantisipasi. Ibarat pecatur, Gus Dur bisa membaca beberapa langkah kedepan dan membuat pertahanan sekaligus menyerang balik. Dan yang paling fenomenal adalah warisan Gus Dur pada “kosakata” percakapan bahasa Indonesia . “Gitu aja kok repot”. Kalimat yang sungguh fantastis. Saya sering mengutip kalimat ini kalau sudah terpojok pada debat kusir di warung-warung kopi. Sekaligus memikirkan serangan selanjutnya. Wis tah, kalau sudah deket-deket ama Gus Dur, pasti kita akan merasa duduk dekat perapian. Bisa hangat dan nyaman, tapi juga harus waspada, bisa-bisa kita jadi "gosong".

Muhaimin Iskandar adalah tokoh yang low profile.Tidak banyak masyarakat yang tahu siapa beliau ini. Bahkan mungkin kebanyakan masyarakat NU sekalipun tidak akan mengenalnya bila pas berpapasan di jalan. Muhaimin mempunyai pengalaman kerja segudang dan aktif diberbagai macam organisasi. Sebut saja, - Ketua Umum PMII; - Kepala devisi kajian Lembaga Pendapat Umum Jakarta (1992); Ketua Umum Pengurus Besar PMII (1994-1997); Sekretaris Jenderal DPP PKB (1998-2000), tidak membuatnya menjadi “politikus selebritis” yang tenar. Tidak terlalu banyak “move” dalam karirnya berpolitik. Bahkan ketika terjadi sedikit “polemik” pada saat pengangkatannya sebagai ketua PKB, Muhaimin terlihat santai, malah Pamannya, Gus Dur yang terlihat berapi-api dalam masalah ini.

Dalam dunia musik, kalau kita ngomong “symphony”, maka orang pasti akan terbayang akan musik-musik klasik dengan nuansa abad 18-an. Dan banyak orang pasti dengan gampang akan menyebut pakar-pakar musik ini. Seperti Beethoven, Mozart, Bach dan Vivaldi. Pada masa lampau, kebanyakan hanya para bangsawan dan orang-orang kaya saja yang bisa melihat dan mendengar sekaligus menikmati karya-karya besar para pakar tersebut. Konser musik ini dipimpin oleh seorang dirijen yang mengatur para pemainnya. Dengan hebat, dirijen bisa mengatur musik. Mengatur tempo-temponya. Cepat berubah menjadi kalem, dari kalem berubah lagi menjadi cepat. Dan para penonton yang orang-orang berduitpun, mantuk-mantuk menikmati. Persis seperti saya kalo lagi dengar musik ini, mantuk-mantuk cuman……..gak ngerti.Tak heran bila symphony identik dengan orang pinter dan kaya.

Dalam era globalisasi ini, semua arus informasi menjadi sangat deras. Bagaikan airbah yang menyapu semua bidang. Tak terkecuali dunia musik. Sekarang, adikarya milik Beethoven, Mozart dan yang lain-lain, bukanlah barang yang mewah. Semua orang dengan mudah bisa memilikinya. Jangan heran bila mendengar musik-musik klasik dari bilik kamar kost-kostan. Musik ini bukan lagi menjadi barang langka.

Globalisasi pun juga menyapu ke dalam dunia politik.

Pada bulan Maret 27, 2008, Gus Dur selaku Dewan Syuro PKB memecat Muhaimin sebagai Ketua Umum partai ini. Pemecatan ini dilakukan oleh Gus Dur karena menganggap Muhaimin menggalang kekuatan dalam tubuh PKB untuk mendongkel Gus Dur. Yang diluar dugaan, Muhaimin melakukan perlawanan balik dengan keras. Muhaimin bertekat untuk meneruskan permasalahan ini hingga ke pengadilan. Ini jelas sebuah kejutan dalam panggung politik Indonesia. Dalam tubuh PKB, Dewan Syuro adalah dewan yang paling tinggi. Apapun perkataan dari dewan ini ibarat perkataan sang raja. Kata-kata raja harus dijalankan. Hirarki yang saya tangkap dari PKB, Dewan Syuro “diatas” ketua harian. Gus Dur diatas Muhaimin. Globalisasi telah merambat ranah politik. Protes Muhaimin kita harapkan membawa globalisasi positif. Globalisasi telah merambah “keluarga”. Sang paman harus berhadapan dengan keponakan.

Sang dirijen bernama "Politik" tengah memainkan musik symphony. Dia memainkan dan mengolah nada-nadanya dengan dahsyat. Putaran temponya bisa berubah-ubah sewaktu-waktu. Penuh kejutan.

Sang dirijen tengah “memainkan” Gus Dur dan Muhaimin Iskandar. Dirijen ini tengah memainkan symphony yang berjudul “Symphony of flame and frost”.





2 komentar:

Unknown mengatakan...

hmmmm ternyata berat juga pemikiran anda.....tapi anda tidak begitu bisa menyamakan antara politik dengan musik

torasham mengatakan...

emang bener mas. Tapi itu di permukaan saja. "esensi"nya, musik=politik. jadi bila anda bermain musik, anda harus mampu menangkap esensi dari musik tsb. Bila sudah bisa, pasti akan anda rasa adanya persamaan antara politik dengan musik.

 
© free template by Blogspot tutorial