Pasti pernah dengar istilah “Uang tidak bisa membeli segalanya”. Sebuah istilah yang terdengar secara fakta memang betul. Bisakah kita membeli kebahagian kita dengan uang kita..? Bukankah kita tidak membawa uang ketika kita meninggal..?
Richard E. Easterlin, pakar ekonomi dari Amerika, mengadakan penelitian yang mendalam terhadap masalah ini. Pada tahun 1974, Easterlin mengeluarkan studi yang mengatakan bahwa “pertumbuhan ekonomi tidak banyak membawa dampak pada kebahagiaan manusia”.
People in poor countries, not surprisingly, did become happier once they could afford basic necessities. But beyond that, further gains simply seemed to reset the bar. To put it in today’s terms, owning an iPod doesn’t make you happier, because you then want an iPod Touch. Relative income — how much you make compared with others around you — mattered far more than absolute income, Lanjut Easterlin.
Ungkapan ini terkenal sebagai Easterlin Paradox. Contoh paling kongkrit dalam studi Easterlin ini adalah masyarakat Jepang yang pertumbuhan ekonominya maju pesat semenjak Perang Dunia II, namun justru mereka terlihat dalam depresi. Kemajuan ekonomi jepang membuat masyarakat jepang berada dalam kompetisi yang tinggi. Tidak bisa mengikuti perkembangan, mereka akan tersingkir.
Pada tanggal 16 April 2008, dua orang mahasiswa UniversitasPennsylvania mengeluarkan hasil studi banding mereka atas Easterlin Paradox “Economic Growth and Subjective Well-Being”. Studi ini menghasilkan semacam kontradiktif atas Easterlin Paradox, yang artinya, pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan hidup bahagia.
Sampai dengan saat ini, Prof Easterlin mungkin masih melakukan studi banding lagi terhadap essai baru ini. Kita tinggalkan pakar-pakar ekonomi tersebut. Kita akan melakukan studi sederhana sendiri terhadap diri kita, di negara kita.
Bagi anda yang mempunyai penghasilan pas-pasan, mungkin anda akan mencari sarana anda sendiri untuk menuju kebahagiaan dengan mencukupkan dana dari penghasilan anda sendiri. Mungkin anda yang akan merasa nikmat ketika anda bisa mengajak keluarga anda untuk rekreasi ke kebun binatang. Sesuai dengan bujet anda. Namun, bila anda, bisa anda bayangkan sendiri, bila anda mempunyai penghasilan diatas penghasilan anda yang sekarang, mungkin anda mempunyai banyak pilihan untuk rekreasi bersama keluarga. Ke Bali mungkin yang lebih banyak membutuhkan dana. Pada kondisi ini, bisakah kita mengkomparasikan kebahagiaan yang anda “beli” bila berlibur ke kebun binatang dengan berlibur keBali ..?
Atau mungkin, bila anda mempunyai famili yang sedang sakit. Bila anda berpenghasilan pas-pasan mungkin sekali anda akan membawa famili anda ke rumah sakit dengan biaya yang sesuai dengan bujet anda. Mungkin anda membawa famili anda ke puskesmas, atau mungkin ke rumah sakit umum, dengan segala keruwetan yang ada disana. Sekali lagi, komparasikan bila anda mempunyai penghasilan yang lebih dari pada yang sekarang, kemungkinan besar anda akan mempunyai banyak pilihan, dimana andakan merawat famili anda. Rumah sakit favorit, kelas nomer satu, atau bahkan pavilion. Kebahagiaan yang anda “beli” mungkin (pasti) akan anda tunjuk yang kedua.
Dengan pendapatan yang ada sekarang, mungkin anda akan menyekolahkan famili anda ke sekolah yang “biasa-biasa” saja. Tetapi bila anda mempunyai penghasilan diatas yang sekarang, anda mempunyai banyak pilihan pada sekolah favorit yang identik dengan biaya mahal. Dengan pendapatan anda yang sekarang ini, mungkin anda sudah cukup puas dengan hanya makan di warung-warung pinggir jalan. Tapi bila anda mempunyai pendapatan yang meningkat, pasti anda mempunyai opsi untuk mampir di resto-resto atau café-café ternama dikota anda.
Bukankah ini namanya Uang bisa membeli segalanya…….?
Mungkin terasa immoral kalau kita menghambakan diri pada uang.
Bicara masalah moral, nampaknya kita semua akan setuju kalau guru moral kita pertama kali adalah orang tua. Semenjak kecil kita terus di support moral positif dari ibu bapak kita. Wejangan moral berbentuk cerita, teguran, kiasan dan lain sebagainya membentuk kita, sedikit banyaknya, menjadi manusia yang ber-moral tinggi. Ungkapan seperti “bangun pagi, biar rejekinya tidak dimakan ayam”, “jangan pacaran malam-malam, tidak baik dilihat orang” atau cerita si kancil yang cerdik adalah pelajaran moral dari orang tua kita. Tapi itu untuk anak kecil, untuk kita waktu masih kecil.
Ketika kita telah dewasa, nasehat yang diberikan pada kita sudah berubah arah. Tentu kita pasti pernah bersitegang dengan orang tua kita masalah ini; “Jangan kuliah jurusan itu, nanti susah cari duwit….!” Atau “jangan menikah sama si anu itu, dia gajinya kecil, nanti susah masa depanmu…...!"
Richard E. Easterlin, pakar ekonomi dari Amerika, mengadakan penelitian yang mendalam terhadap masalah ini. Pada tahun 1974, Easterlin mengeluarkan studi yang mengatakan bahwa “pertumbuhan ekonomi tidak banyak membawa dampak pada kebahagiaan manusia”.
People in poor countries, not surprisingly, did become happier once they could afford basic necessities. But beyond that, further gains simply seemed to reset the bar. To put it in today’s terms, owning an iPod doesn’t make you happier, because you then want an iPod Touch. Relative income — how much you make compared with others around you — mattered far more than absolute income, Lanjut Easterlin.
Ungkapan ini terkenal sebagai Easterlin Paradox. Contoh paling kongkrit dalam studi Easterlin ini adalah masyarakat Jepang yang pertumbuhan ekonominya maju pesat semenjak Perang Dunia II, namun justru mereka terlihat dalam depresi. Kemajuan ekonomi jepang membuat masyarakat jepang berada dalam kompetisi yang tinggi. Tidak bisa mengikuti perkembangan, mereka akan tersingkir.
Pada tanggal 16 April 2008, dua orang mahasiswa Universitas
Sampai dengan saat ini, Prof Easterlin mungkin masih melakukan studi banding lagi terhadap essai baru ini. Kita tinggalkan pakar-pakar ekonomi tersebut. Kita akan melakukan studi sederhana sendiri terhadap diri kita, di negara kita.
Bagi anda yang mempunyai penghasilan pas-pasan, mungkin anda akan mencari sarana anda sendiri untuk menuju kebahagiaan dengan mencukupkan dana dari penghasilan anda sendiri. Mungkin anda yang akan merasa nikmat ketika anda bisa mengajak keluarga anda untuk rekreasi ke kebun binatang. Sesuai dengan bujet anda. Namun, bila anda, bisa anda bayangkan sendiri, bila anda mempunyai penghasilan diatas penghasilan anda yang sekarang, mungkin anda mempunyai banyak pilihan untuk rekreasi bersama keluarga. Ke Bali mungkin yang lebih banyak membutuhkan dana. Pada kondisi ini, bisakah kita mengkomparasikan kebahagiaan yang anda “beli” bila berlibur ke kebun binatang dengan berlibur ke
Atau mungkin, bila anda mempunyai famili yang sedang sakit. Bila anda berpenghasilan pas-pasan mungkin sekali anda akan membawa famili anda ke rumah sakit dengan biaya yang sesuai dengan bujet anda. Mungkin anda membawa famili anda ke puskesmas, atau mungkin ke rumah sakit umum, dengan segala keruwetan yang ada disana. Sekali lagi, komparasikan bila anda mempunyai penghasilan yang lebih dari pada yang sekarang, kemungkinan besar anda akan mempunyai banyak pilihan, dimana anda
Dengan pendapatan yang ada sekarang, mungkin anda akan menyekolahkan famili anda ke sekolah yang “biasa-biasa” saja. Tetapi bila anda mempunyai penghasilan diatas yang sekarang, anda mempunyai banyak pilihan pada sekolah favorit yang identik dengan biaya mahal. Dengan pendapatan anda yang sekarang ini, mungkin anda sudah cukup puas dengan hanya makan di warung-warung pinggir jalan. Tapi bila anda mempunyai pendapatan yang meningkat, pasti anda mempunyai opsi untuk mampir di resto-resto atau café-café ternama di
Bukankah ini namanya Uang bisa membeli segalanya…….?
Mungkin terasa immoral kalau kita menghambakan diri pada uang.
Bicara masalah moral, nampaknya kita semua akan setuju kalau guru moral kita pertama kali adalah orang tua. Semenjak kecil kita terus di support moral positif dari ibu bapak kita. Wejangan moral berbentuk cerita, teguran, kiasan dan lain sebagainya membentuk kita, sedikit banyaknya, menjadi manusia yang ber-moral tinggi. Ungkapan seperti “bangun pagi, biar rejekinya tidak dimakan ayam”, “jangan pacaran malam-malam, tidak baik dilihat orang” atau cerita si kancil yang cerdik adalah pelajaran moral dari orang tua kita. Tapi itu untuk anak kecil, untuk kita waktu masih kecil.
Ketika kita telah dewasa, nasehat yang diberikan pada kita sudah berubah arah. Tentu kita pasti pernah bersitegang dengan orang tua kita masalah ini; “Jangan kuliah jurusan itu, nanti susah cari duwit….!” Atau “jangan menikah sama si anu itu, dia gajinya kecil, nanti susah masa depanmu…...!"
Bukankah ini yang namanya……….
4 komentar:
uang bukan segalanya, tapi segalanya jadi lebih baik dengan uang...
*sok tau mode on never off*
Rasanya tergantung dari "persepsi" orangnya mungkin yah..
mungkin akan lebih terasa kalau ulan dah merit...:D
omong-omong kabarnya gen gimana?
mas toras ini asli mana sih? melihat namanya awalnya saya yakin sampean bukan orang jawa. kerja di broadcast ya mas?
uang bikin mata kita jadi ijo, tapi uang juga bisa menggelapkan pikiran kita. beware aja deh
manusia hidup butuh uang.. tp uang bukan segalanya. Karena jika segalanya, maka dia akan meninggikan uang di atas agama, normal2 lainnya
Kalau "belajar yg baik biar dpt kerja enak" saya rasa masih wajar ^^tp kalau demi dapat uang senggol sana sini, sikut sana sini, itu sih br kurang ajar weheheh ^^
Salam kenal yah
Posting Komentar