Senin, 14 April 2008

Perang Dunia III dan Lagu dangdut

Pada tanggal 12 April 2008, Direktur IMF, Dominique Strauss-Kahn, mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan. Bahwa krisis pangan akhir-akhir ini telah mengganggu stabilitas ekonomi dalam skala luas. Bila berlangsung terus menerus, kemungkinan besar akan meletus Perang Dunia III.

Dominique Strauss Kahn
(Presiden IMF)

Tercatat banyak demonstran yang muncul akibat melambungnya harga pangan, seperti Bangladesh, Mesir dan Filipina. Bahkan pemerintah Filipina meminta bantuan kepada lembaga-lembaga internasional agar ikut membantun menangani krisis pangan yang terjadi di Negara itu. Yang paling mengejutkan terjadi di Haiti. Setelah terjadi penjarahan di toko-toko yang menjual sembako, rakyat menggulingkan perdana menteri Jacques-Edouard Alexis, dan kini berdemontrasi menurunkan Presidennya.

Kalau kita tengok lagi ke belakang, beberapa puluh tahun yang lalu. Nampaknya kelaparan dan krisis pangan memang telah memicu perang dunia. Contoh paling kongkrit adalah Jerman. Setelah menyerahnya kerajaan Jerman secara tiba-tiba pada PD I, Jerman terpaksa menandatangani persetujuan Versailles. Salah satu poinnya adalah Jerman harus membayar kompensasi perang sebesar US$ 5 milliar. Gampang ditebak, dengan denda sebesar itu, rakyat Jerman mengalami krisis pangan yang hebat. Kondisi ini memunculkan tokoh yang kelak mengubah sejarah dunia, Adolf Hitler. Dengan kemampuan berpidato, propaganda dan skill politik lainnya, Hitler mengenalkan slogan Arya dan Lebensraum. Jerman adalah ras arya, ras yang ditakdirkan memimpin dunia, untuk itu ras arya butuh tempat/ruang hidup (lebensraum). Akibat berbagai macam penderitaan yang dideritnya, penduduk jerman menjadi buta dan mau saja mengikuti sang Fuehrer ini. Dan, jerman dengan Nazi-nya lalu menyikat negara-negara hingga terjadi PD II. Dalam film dokumentasi “When Hitler Fought Stalin”, BBC melaporkan terjadinya penjarahan besar-besaran bahan pangan yang dilakukan oleh Nazi ketika menduduki Ukraina (dulu masuk Uni Soviet).

Adolf Hitler

Beberapa tahun kemudian, ditempat yang jauh dari Jerman, krisis pangan juga menimbulkan kerusuhan yang mengerikan. Indonesia pada awal tahun 1965, inflasi terjadi tanpa bisa dikendalikan oleh pemerintah. Dari 2 digit menjadi 3 digit, bahkan terjadi inflasi sampai 650%. Biaya hidup pun naik dari Rp 100/perhari menjadi Rp 16rb perhari. Bahkan menjadi Rp 150rb pada Juli 1966. (nyt 18/01/1965). Hutang Indonesia pada waktu itu mencapai jutaan dollar AS tapi tidak digunakan untuk pembangunan ekonomi, hanya digunakan untuk pembangunan simbol-simbol politik (Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu). Akibatnya terjadi krisis pangan yang berkepanjangan dan mencapai klimak dengan terjadinya Gestapu. Dan berlanjut juga dengan tragedi pembunuhan massal.

Memang Indonesia tidak secanggih Nazi yang mengubah kelaparan menjadi negara superpower, namun paling tidak terjadinya “perang saudara” ini diakibatkan oleh krisis pangan dan melambungnya harga-harga sembako. Sementara lapangan pekerjaan semakin menyempit ditambah para pekerja yang merasa gajinya tidak mampu membuntuti harga-harga sembako.

Hal-hal yang terjadi di tahun 65 ini nampaknya terulang lagi di Indonesia. Antrian mitan, harga sembako yang tidak terkontrol, serta biaya hidup lainnya yang tidak terkejar oleh masyarakat berbanding terbalik dengan kehidupan mewah para wakilnya. Sudah sering kita dengar, para dewan minta anggaran ini dan itu, tunjangan sana dan sini yang nilainya sama dengan kebutuhan pokok beberapa KK dalam satu bulan. Kejadian yang hampir mirip di tahun 65-an. Ketika masyarakat menderita kelaparan, para anggota dewan dan partai justru terlihat bergaya hidup borju. Bahkan menjelang peristiwa gestapu, Aidit dan delegasi-delegasi partainya terlihat semakin intens mengadakan kunjungan ke luar negeri, yang tentu saja membutuhkan biaya.


Kalau saja pada tahun 65 tersebut, para wakil lebih banyak konsentrasi mengurusi rakyat daripada partai dan golongannya, kemungkinan besar tidak terjadi “mass massacre” yang masih terasa hingga sekarang. Kalau saja hutang luar negeri tersebut digunakan untuk kepentingan ekonomi bukan kepentingan symbol-simbol politik, mungkin saja negara kita menjadi sedikit lebih makmur. Ingat saja, hutang-hutang tersebut masih belum lunas hingga sekarang. Kalau saja, anggota dewan kita pada jaman sekarang mau menyisihkan gaji-gajinya, mau hidup bersih, mau memikirkan rakyatnya, kemungkinan besar tidak akan terjadi krisis pangan yang terjadi belakangan ini.

Kalau saja, kamu taahu…………
Betapa lapar, perutku……..
(gubahan dari lagu dangdut, Caca Andika)

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial